Malu Itu Penting


Budaya Malu, oleh Prof. Dr. Achmad Satori Ismail (IKADI)

Ketika Abu Qilabah keluar untuk sholat berjamaah, bertemu dengan Umar bin Abd Al Aziz yang juga sedang menuju masjid untuk jama’ah sholat ashar. Beliau kelihatan membawa secarik kertas, maka Abu Qilabah bertanya: Wahai Amirul mukminin, geranga kertas apakah ini ? Beliau menjawab ini adalah secarik kertas berisi sebuah hadits yang aku riwayatkan dari Aun bin Abdillah. Aku tertarik sekali dengan hadits ini maka aku tulis dalam secarik kertas ini dan sering aku bawa. Abu Qulabah berkata;


ternyata di dalamnya tertera sebuah hadits sbb. “Diriwayatkan dari Aun bin Abdillah, ia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Abdil Aziz bahwa aku telah meriwayatkan hadits dari seorang sahabat nabi saw yang kemudian diketahuinya oleh Umar. Aku berkata, ia telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya rasa malu, iffah ( menjauhi yang syubhat) , dan diamnya lisan bukanlah diamnya hati, serta pemahaman (agama) adalah termasuk dalam keimanan. Semuanya itu termasuk yang menambah dekat kepada akhirat dan mengurangi keduniaan, dan termasuk apa-apa yang lebih banyak menambah keakhiratan.Tapi Sebaliknya, Sesungguhnya ucapan jorok, perangai kasar dan kekikiran termasuk dalam kenifakan (prilaku kemunafikan) dan semuanya itu menambah dekat dengan dunia dan mengurangi keakhiratan serta lebih banyak merugikan akhirat.
(Sunan Ad Darami)

Kejadian di atas menunjukkan betapa besar perhatian Umar bin Abdil Aziz terhadap masalah yang mendorongnya untuk meningkatkan masalah keakhiratannya. Hadits tentang rasa malu ini mendapat perhatian khusus sehingga ditulis dalam secarik kertas yang sering dibawa kemana-mana. sampai waktu berangkat sholat jamaahpun dibawa pula. Di antara isi dari inti hadits ini bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman dan bisa menambah urusan keakhiratannya..

Definisi rasa malu

Ketika seorang mau melanggar aturan agama misalnya, maka ia merasakan dalam dirinya sesuatu yang tidak enak, merasa malu ataupun rasa takut. Karena pelanggaran agama atau menentang disiplin bertentangan dengan fitrahnya sehingga menimbulkan rasa malu. Seorang yang ingin mencuri kemudian tidak jadi mencuri, karena dalam dirinya masih ada rasa malu. Namun bila rasa malu ini dikikis terus dengan pelanggaran maka hilanglah rasa malunya dan akhirnya menjadi orang yang memalukan, contohnya seorang wanita yang berpakaian ketat, pada awalnya ada rasa malu yang kemudian lama kelamaan menjadi hilang rasa malunya.

Keutamaan rasa malu:

1. Rasa malu adalah penghalang manusia dari perbuatan dosa

Rasa malu adalah pangkal semua kebaikan dalam kehidupan ini, sehingga kedudukannya dalam seluruh sifat keutamaan adalah bagaikan kepala dengan badan. Maksudnya, tanpa rasa malu maka sifat keutamaan lain akan mati. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Rasa malu tidak mendatangkan selain kebaikan.
Busyair bin Ka’b berkata: Dalam kata-kata bijak tertera :”Sesungguhnya rasa malu memiliki keagungan dan dalam rasa malu terdapat ketenangan” ( HR Bukhori dan Muslim)

2. Rasa malu merupakan salah satu cabang dari iman dan indicator nilai keimanan seseorang

Rasa malu adalah cabang dari iman. Seabagaimana Rasulullah saw menyatakan: “Iman terdiri dari enam puluh cabang lebih dan rasa malu sebagian cabang dari iman ( HR Bukhori)

Rasulullah saw melewati seorang anshor yang sedang menasehati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah bersabda: “ Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan”
(Bukhori dan Muslim)

Bahkan lebih dari itu, dalam hadits lain dinyatakan: “iman dan rasa malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Bila rasa malu tidak ada maka imanpun akan sirna”( HR Al Hakim)

3. Rasa malu adalah inti akhlak islami

Anas r.a. meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah rasa malu”.

Diriwayatkan dari Ya’la bahwa Rasulullah saw melihat seorang mandi di tanah lapang, maka Rasulullah seketika naik mimbar dan setelah memuji Allah beliau bersabda : “sesungguhnya Allah adalah Maha Malu yang suka menutupi ‘aib yang mencintai rasa malu. Jika salah seorang dari kamu mandi hendaklah ia mandi di tempat tertutup.

4. Rasa malu adalah benteng akhir keislaman seseorang

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa nabi saw telah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza Wajalla apabila hendak menghancurkan seorang hamba menarik darinya rasa malu, apabila rasa malu telah dicopot maka tidaklah kau jimpai dia kecuali dlam keadaan tercela dan dibenci, Bila sudah tercela dan dibenci maka akan dicopot darinya sifat amanah. Apabila sifat aamanah telah tercopot maka tidak kau jumpai dia kecuali menjadi seorang yang pengkhianat, bila sudah menjadi pengkhianat maka dicopot darinya sifat kasih sayang. Bila sifat kasih sayang telah dicopot darinya maka tidak kau jumpai dia kecuali dalam keadaan terlaknat dan bila dalam keadaan terlaknat maka akan dicopotlah ikatan islam darinya.

5. Rasa malu merupakan akhlak yang sejalan dengan fitrah manusia

Rasa malu sebagai hiasan semua perbuatan. Dalam hadits yang diriwayatkan Anas r.a. bahwa rasulullah saw telah bersabda: “Tidaklah ada suatu kekejian pada sesuatu perbuatan kecuali akan menjadinya tercela dan tidaklah ada suatu rasa malu pada sesuatu perbuatan kecuali akan menghiasinya.
(Musnad Ahmad)

Diriwayatkan dari Ibnu abbas r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda pada Al Asyaj al ‘Asry ; “Sesungguhnya dalamdirinmu terdapat dua sifat yang dicintai Allah yaitu kesabaran dan rasa malu.
( Musnad ahmad)

Diriwayatkan dari anas r.a. ia berkata: Rasulullah telah bersabda; Orang yang paling kasih sayang dari umatku adalah Abu Bakar r.a, orang yang paling tegas dalam masalah agama dri umatku adalah Umar r.a Orang yang paling merasa malu adalah Utsman r.a. Orang yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Orang yang paling mengerti tentang Al quran adalah Ubay r.a. Orang yang paling mengetahui tentang faroidl adalah Zaid bin Tsabit. Setiap umat memiliki orang keperayaan dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah Ibn al jarroh.
(Musnad Ahmad)

Al Fudleil bin ‘iyadh menyatakan: Ketika manusia sudah tidak memiliki rasa malu lagi maka tidak ada bedanya dengan bianatang.


Karakteristik rasa malu

Diriwayatkan dari abdillah ibni Mas’ud r.a. ia berkata, Rasulullah telah bersabda pada suatu hari : “Milikilah rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.! Kami (para sahabat) berkata: Wahai rasulullah sesungguhnya kami alhamdulillah telah memiliki rasa malu. Rasulullah bersabda: “ Bukan sekedar itu akan tetapi barangsiapa yang mealu dari allah dengan sesungguhnya, hendaknya menjaga kepalanya dan apa yang ada di dalamnya, hendaknya ia menjaga peruta dan aapa yang didalamnya, hendaknya ia mengingat mati dan hari kehancuran. Dan barangsiapa menginginkan akhirat ia akan meninggalkan hiasan dunia . Barangisapa yang mengerjakan itu semua berarti ia telah merasa malu kepada allah dengan sesungguhnya.
(Musnad Ahmad)


Dalam hadits di atas kita dapat menarik empat karakteristik rasa malu yang sebenarnya yaitu:
1. Menjaga kepala dan sekitarnya
2. Menjaga perut dan segala isinya
3. Mengingat mati dan hari kehancuran
4. Menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir.

Berikut ini penjelasan empat karakteristik rasa malu yang sebenarnya:
1. Menjaga kepala dan sekitarnya.

Yang dimaksud dengan menjaga kepala dan sekitaranya adalah sbb.
a. Menjaga indera penglihatannya agar jangan sampai melihat kepada yang haram, mencari-cari kesalahan orang lain dan hal-hal lain yang diharamkan Allah swt. Yang termasuk menjaga indera penglihatan adalah menggunakannya untuk membaca Alquran, mempelajari lmu, merenungi alam semesta dan bersengan-sengan dengan memandang yang halal.
b. Menjaga indera pendengaran dengan menggunakannya untuk mendengarkan bacaan Al Quran, mendengarkan pengajian dan menjauhi mendengarkan ghibah, namimah dsb
c. Menjaga lisan dengan mempergunakannya untuk dzikrullah, memberi nasehat, menyampaikan dakwah dan menjauhi segala ucapa yang diharamkan seperti adudomba, mengumpat, menghina orang lain dsb.
d. Menjaga mulut dengan membiasakan menggunakan siwak, memasukkan makanan yang halal dan menjauhi makanan yang haram. Menjauhi tertawa berlebihan dst.
e. Menjaga muka dengan membiasakan bermuka manis, tersenyum dan ceria setiap ketemu kawan.
f. Menjaga akal dengan menjauhi pemikiran yang sesat seperti pemikiran muktazilah, sekuler, islam liberal dsb.

2. Menjaga perut dan seisinya

Yang dimaksud dengan menjaga perut seisinya adalah:
a. Menjaga hati dengan menanamkan keikhlasan dan melakukan muhasabah serta menjauhi penyakit hati seperti riya’, ujub, sombong, kufur, syirik dsb.
b. Menjaga saluran pernafasan dengan tidak merusak saluran pernafasan seperti meokok dsb.
c. Menjaga kemaluan dengan menjauhi apa-apa yang diharamkan Allah seperti perzinahan dsb.
d. Menjaga saluran pencernaan dengan henya memasukkan makanan dan minuman yang halal saja.

3. Mengingat mati dan hari kiamat.

Mengingat mati akan membawa kita kepada upaya untuk meningkatkan ketakwaan . Kematian cukuplah bagi kita sebagai nasihat agar kita taubat dan kembali kepada Allah. Orang yang berbahagia adalah orang yang senantiasa melupakan kebaikan, mengingat dosa, mengingat kematian, melihat orang yang lebih rendah di bidang dunia dan melihat orang yang lebih baik dalam bidang akhirat. Orang yang mengingat kematian akan terdorong untuk menyiapkan bekal menuju akhirat dan melu melanggar larangan Allah

4. Menjadikan akhirat sebagi tujuan akhir.

Assindi mengatakan dalam syarah Sunan Ibni Majah sbb: Pengertian hadits “ Bila kamu tdiak memiliki rasa malu maka berbuatlah semaumu” adalah bahwa rasa malu itu merupakan benteng manusia dari perbuatan buruk. Orang yang memeiliki rasa malu terhadap Allah akan menghalanginya dari pelanggaran agama. Orang yang malu terhadap manusia akan menjauhi semua tardisi jelek manusia. Bila rasa malu ini hilang dari seseorang maka ia tidak peduli lagi terhadap perbuatan dan ucapannya. Perintah dalam hadits ini memiliki makna pemberitahuan yang intinya bahwa setiap orang harus melihat perbuatannya. Bila perbuatan itu tidak menimbulkan rasa malu maka hendaknya ia melakukannya bila sebaliknya ia harus meninggalkannya. (Sunan Ibni Majah syarh Sindi)

Bangsa Indonesia yang sudah tidak lagi memiliki budaya malu, harus kembali melaksanakan empat anjuran Rasulullah secara massif demi menuju kebangkitan menggapai kegemilangan di masa mendatang.


(Prof. Dr. Achmad Satori Ismail)
ikadi.org

[+/-] Selengkapnya...

Islam dan Demokrasi


Gagasan demokrasi dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat.
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, gelombang demokrasi telah meluas ke berbagai negara, tak terkecuali negara-negara berpenduduk Muslim. Wacana demokrasi dan Islam yang kerap diwarnai pro dan kontra selalu menarik untuk diperbincangkan.
''Hubungan antara Islam dan demokrasi dalam dunia saat ini begitu kompleks,'' ungkap John L Esposito dan John O Voll dalam tulisannya berjudul Islam and Democracy. Lalu bisakah demokrasi dan Islam bisa cocok (compatible) dan berdampingan?

Konon, demokrasi berakar dari peradaban bangsa Yunani Kuno pada 500 SM. Dari negeri itulah, asal kata democratia, yang demos berarti rakyat dan cratia berarti pemerintahan. Chleisthenes - tokoh pada masa itu -- dianggap banyak memberi kontirbusi dalam pengembangan demokrasi.

Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.

Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi.

''Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,'' ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani. Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja. Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).

Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika Eropa bangkit di abad pencerahan. Pada masa itulah lahir pemikiran-pemikiran besar tentang relasi antara penguasa dengan rakyat, atau negara dan masyarakat. Secara sederhana, Ulf Sundhaussen karya tulisannya Demokrasi dan Kelas Menengah menyebutkan beberapa kriteria demokrasi.

Pertama, adanya jaminan hak bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yag diadakan secara berkala dan bebas. Kedua, setiap warga negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan informasi, serta beragama. Ketiga, dijaminnya kesamaan hak di depan umum.

Sementara itu, Joseph Schumpter dalam Capitalism, Socialism and Democracy menyatakan demokrasi sebagai mekanisme pasar. Para pemilih bertindak sebagai konsumen dan para politisi adalah wiraswastanya. Ide demokrasi terus mengalir hingga ke Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19.

Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat. Para pemikir inilah yang kemudian menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat dengan cara selektif. Salah satu pemikir Islam yang menekankan hal itu adalah Muhammad Abduh (1848-1905) - pembaru pemikiran Islam di Mesir.

Melalui Al-Manar, Abduh menekankan pentingnya penguatan moral akar rumput masyarakat Islam, dengan kembali ke masa lalu, namun mengakui dan menerima kebutuhan untuk berubah, serta menghubungkan perubahan itu dengan ajaran Islam. Abduh meyakini Islam dapat mengadopsi untuk berubah sekaligus mengendalikan perubahan itu.

''Islam dapat menjadi basis moral sebuah masyarakat yang progresif dan modern,'' papar Abduh. Seabad kemudian, banyak negara Muslim di dunia yang memilih demokrasi untuk diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif. Para pendukung Islam liberal dipengaruhi Muhammad Abduh. Kelompok ini menyatakan bahwa agama Islam tak bertentangan dengan perspektif sekuler.

Menurut kelompok ini, Islam mendorong umatnya untuk mendirikan pemerintahan yang berbasis pada pemikiran modern. Tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal adalah Syura (musyawarah), Al-Maslahah (kepentingan umum), dan 'Adl (keadilan).

Kelompok ini memandang tidak ada kesepakatan diantara ilmuwan Islam mengenai syura. Meski begitu, pada dasarnya mereka sepakat pada ayat Alquran yang memerintahkan Nabi untuk berkonsultasi dengan penasehatnya. Penganut paham liberal juga meyakini Muslim yang baik perlu bermusyawarah dengan orang lain untuk membangun hubungan. Bagi mereka, demokrasi tak bertentangan dengan Islam.

Sementara itu, kelompok konservatif menyatakan kedaulatan bukan berada di tangan manusia, tetapi di tangan Tuhan. Pandangan kelompok konservatif banyak dipengaruhi pemikiran ulama asal Mesir, Sayyid Qutb (1906-1966). Ia menyatakan, sistem negara-negara Arab yang tak Islami sebagai bagian dari jahiliyah modern.

Menurut Sayyid Qutb, banyak aspek yang berlaku dalam kehidupan modern, termsuk institusi dan kepercayaan barat sebagai kejahatan dan bertentangan dengan Islam. Dia meyakini, universalitas dan kesempurnaan Islam sangat cocok bagi setiap orang tanpa memandang tempat dan waktu. Syariah menjadi sumber aturan kehidupan.

Pemikir Islam lainnya, Hasan Al-Turabi, menyatakan sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Menurut dia, syura dan tauhid bergandengan tangan.

''Syura dibutuhkan untuk menerjemahkan syariah dalam berhubungan dengan konstitusi, hukum, sosial dan masalah-masalah ekonomi,'' papar Al-Turabi. Bagi kelompok konservatif, syura sangat berbeda dengan gaya demokrasi Barat. Begitulah umat Islam memandang demokrasi.


Syura Model Demokrasi Islam

Selepas wafatnya Rasulullah SAW pada 12 Rabiulawal 11 H, para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam. Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada seseorang. Suksesi kepemimpinan pada waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan pemilihan.

Masyarakat Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui dan menyetujui empat sahabat Rasulullah, secara berurutan, Abu Bakar as-Siddiq, Umat bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, menjadi Khulafa' ar-Rasyidin (para pengganti yang memberi bimbingan). Pemilihan dan musyawarah dilakukan sesuai dengan kondisi saat itu.

Sejak saat itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.

Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah SAWT berfirman, ''Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betawakal kepada-Nya.''

Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masala-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik.

Setiap orang yang bermusyawarah tentu akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga masalah atau persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan. Jika para pemimpin masyarakat, politik dan pemerintahan mengikutsertakan rakyat untuk memusyawarahkan suatu urusan, maka rakyat akan memahaminya dan ikut berpartisipasi dalam melaksanakannya.

Dengan begitu rakyat terhindar dari kesewenang-wenangan. Melalui ayat itu pula, Allah melarang para pemimpin umat memutuskan suatu urusan dengan sewenang-wenang tanpa memperhatikan aspirasi umat.

Al-Qurtubi, seorang mufasir mengungkapkan,''Musyawarah adalah salah satu kaidah syara dalam ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara , tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) maka harus dipecat.''

Bentuk pelaksanaan syura memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad SAW yang gemar bermusyawarag dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga, bentuk pelaksanaan syura bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.

Apa Kata Mereka tentang Demokrasi

Setiap tokoh berbeda pendapat dalam menilai demokrasi yang saat ini banyak diterapkan negara-negara Muslim. Inilah pendapat mereka:

- Ayatollah Khomeini (pemimpin Spiritual Iran): Demokrasi adalah sebuah bentuk dari prostitusi, sebab dia yang memenangkan suara terbanyak akan meraih kekuasaan, yang sesungguhnya kekuasaan itu adalah milik Tuhan.

- Aristoteles (pemikir Yunani): Pemberlakuan demokrasi sebagai suatu kemerosotan. Alasannya ketidakmungkinan orang banyak untuk memerintah yang kecil jumlahnya.

- Plato (pemikir Yunani): Kebanyakan orang adalah bodoh atau jahat atau kedua-duanya dan cenderung berpihak kepada diri sendiri. Jika orang banyak ini dituruti, maka muncullah kekuasaan yang bertumpu pada ketiranian dan terror.

- Winston Churchil (Mantan PM Inggris): Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari bentuk pemerintahan.

- Abraham Lincoln: ( Mantan Presiden AS): Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.




Republika
(heri ruslan )

[+/-] Selengkapnya...

Komentar Ulama Seputar Masalah Palestina


Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
Syariah, Kajian Khusus, 05 - Agustus - 2007, 06:23:22
Asy-Syaikh Muhammad Basyir Al-Ibrahimi[1] mengatakan:

“Sesungguhnya Palestina adalah titipan Nabi Muhammad kepada kita, amanah Umar bin Khaththab yang berada dalam tanggungan kita, serta perjanjian Islam yang terletak di leher-leher kita. Maka jika Yahudi mengambilnya dari kita sementara kita ini adalah sekumpulan (umat), benar-benar kita merugi.”

Beliau juga mengatakan:

“Alangkah meruginya Palestina… . Apakah orang yang tidak memilikinya yang menjualnya, dan orang yang tidak berhak terhadapnya yang membelinya? …. Alangkah terhinanya Palestina…

Mereka mengatakan: Sesungguhnya Palestina adalah tempat ibadah tiga agama samawi dan kiblat ketiga agama tersebut. Bila apa yang mereka katakan itu benar –dan itu memang benar– tentu orang yang paling berhak mendapatkan amanah terhadapnya adalah bangsa Arab. Karena mereka adalah kaum muslimin, di mana Islam menghendaki penghormatan terhadap kitab-kitab samawi dan ahli kitab serta mengharuskan beriman kepada seluruh nabi dan rasul. Islam juga menjamin pelaksanaan syiar Yahudi dan Nasrani. Bukankah Yahudi yang mendustakan para nabi dan membunuh mereka serta menyalib –menurut pengakuan mereka– Nabi ‘Isa yang benar, serta mengusir para sahabatnya dari Palestina, lagi kafir terhadap Nabi Muhammad setelah datang kepada mereka keterangan-keterang an?” (Majalah Al-Basha`ir, edisi 22 tahun 1948 M, dinukil dari buku As-Salafiyyun wa Qadhiyatu Filistiin)

Asy-Syaikh Ahmad Syakir[2] mengatakan:

“Sesungguhnya Inggris telah mewariskan besi (kekerasan) dan api (permusuhan) di Palestina untuk melindungi permasalahan yang merugikan dan untuk membela umat yang tidak akan tegak, serta tidak akan memiliki daulah (negara)…

Sesungguhnya orang-orang yang hina itu (Yahudi), telah Allah tetapkan pada mereka untuk selalu terusir. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengusir mereka dari kota Madinah. Lalu Umar Al-Faruq mengusir mereka dari Hijaz. Kemudian muslimin mendiamkan mereka, bahkan melindungi mereka saat mereka tertekan dan lemah. Maka ketika mereka kembali kepada jalan hidup mereka, berupa kejahatan dan permusuhan, Allah pun akan mengembalikan pengusiran itu, sehingga mereka terusir oleh Jerman dan Italia dari negeri mereka. Dan akhir perjalanan mereka –insya Allah– adalah kaum muslimin akan mengusir mereka dari seluruh negeri Islam….

Dan sungguh tokoh petinggi Muhammad ‘Ali Alubah Basya dalam Muktamar kemarin mengatakan kalimat yang saya harap selalu kita ingat: ‘Hendaknya Yahudi mengetahui, jika mereka bergembira saat ini dengan kemenangan yang bersandar kepada ‘tombak’ yang bukan milik mereka, mereka niscaya akan kalah di saat ‘tombak’ ini hilang dari mereka. Peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah telah banyak. Dan kesempatan akan datang, tidak diragukan lagi. Dan barangsiapa memberi peringatan maka dia telah mendapat hujjah…’.”



Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan: Bagaimanakah solusi untuk masalah Palestina yang semakin hari semakin rumit dan ganas?

Jawab: “Sesungguhnya seorang muslim demikian banyak tersakiti serta prihatin sekali dengan memburuknya masalah Palestina, dari keadaan yang buruk ke arah yang lebih buruk. Semakin hari semakin runyam. Sehingga sampailah pada kondisi (seperti) di masa-masa akhir ini, dengan sebab perselisihan negara-negara tetangganya dan tidak teguhnya mereka dalam satu barisan untuk menghadapi musuhnya, serta tidak konsistennya mereka dengan hukum Islam yang dengan itulah Allah kaitkan kemenangan mereka. Serta dengan itulah Allah janjikan pemeluknya untuk menggapai kekhilafahan dan kemapanan di muka bumi. Hal itu mengindikasikan bahaya besar dan dampak yang berbahaya bilamana negara-negara tetangga itu tidak segera menyatukan barisan mereka lagi dari awal, serta konsisten dengan hukum Islam dalam menghadapi masalah yang telah menjadi persoalan mereka dan persoalan dunia Islam seluruhnya ini.

Di antara yang perlu saya garisbawahi pada kesempatan ini bahwa masalah Palestina adalah masalah Islam, sejak awal hingga akhirnya. Namun musuh-musuh Islam berupaya kuat untuk menjauhkan masalah ini dari garis Islam dan memahamkan kepada kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, bahwa itu hanya masalah orang Arab. Tidak ada kaitannya dengan non-Arab. Dan pada taraf ini, nampaknya mereka berhasil dalam upayanya. Oleh karena itu, saya menilai tidak mungkin (kita) sampai pada titik penyelesaian masalah tersebut kecuali dengan memandang bahwa itu adalah masalah Islam, dan dengan saling kerjasama antara sesama muslim dalam menyelamatkannya, serta berjihad melawan Yahudi dengan jihad yang Islami. Sehingga bumi (Palestina) dikembalikan kepada pemiliknya dan warga Yahudi itu pun pulang kembali ke negara asalnya. Sementara penduduk asli Yahudi tetap tinggal di negeri mereka di bawah hukum Islam, bukan hukum komunis atau sekuler. Dengan itu, kebenaran akan menang dan kebatilan akan terhina, serta pemilik negeri tersebut kembali ke negeri mereka di atas hukum Islam, bukan yang lain. Allah-lah yang memberi petunjuk.” (Diambil kumpulan fatwa beliau dengan sub judul Yajibu Tahkim Asy-Syar’i fil Khathifin)



Beliau mengatakan juga:

“Telah saya jelaskan di sana (surat kabar Al-Muslimun, 19/8/1415 H bertepatan dengan 20/1/1995 M) bahwa yang wajib dilakukan adalah berjihad melawan kaum musyrikin dari kalangan Yahudi dan yang lainnya bila ada kemampuan, hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (semacam upeti) jika mereka memang pantas diambil jizyah dari mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi. Namun ketika kaum muslimin tidak mampu untuk itu maka tidak mengapa dilakukan perjanjian damai yang menguntungkan kaum muslimin serta tidak menistakan mereka, dalam rangka mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam peperangan atau perdamaiannya, serta dalam rangka berpegang dengan dalil-dalil syar’i yang bersifat umum maupun khusus dalam masalah ini, serta berhenti padanya. Inilah jalan keselamatan serta jalan kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia maupun akhirat.” (Majalah Al-Mujtama’ edisi 1140 tanggal 6/10/1415)



Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang memasang bom pada tubuhnya, dengan tujuan membunuh sekelompok orang Yahudi?



Jawab: Pandangan saya –dan kami telah peringatkan masalah itu bukan hanya sekali– bahwa ini tidak benar, karena hal ini termasuk bunuh diri. Sementara Allah berfirman:



وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ



“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.” (An-Nisa`: 29)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ



“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu maka dia akan diadzab dengannya di hari kiamat.”

(Seseorang hendaknya) berusaha untuk menjaga dirinya, dan apabila disyariatkan jihad maka hendaknya berjihad bersama muslimin. Sehingga apabila terbunuh maka alhamdulillah. Adapun dia membunuh dirinya dengan memasang ranjau/bom pada dirinya sehingga terbunuh bersama mereka atau melukai dirinya bersama mereka (adalah) salah, tidak diperbolehkan. Akan tetapi berjihad adalah bila disyariatkan jihad bersama muslimin. Adapun apa yang dilakukan pemuda-pemuda Palestina, maka itu salah, tidak boleh. Hanyalah yang wajib mereka lakukan adalah berdakwah kepada jalan Allah, taklim dan bimbingan serta nasihat tanpa melakukan perbuatan tersebut. (Dinukil dari buku Fatawa Al-A`immah Fin Nawazil Al-Mudlahimmah, hal. 179)



Fatwa Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi[3]



Tanya: Anda menjawab bahwa jihad terbagi menjadi dua, jihad thalab (yang bersifat menyerang –ofensif) dan Anda telah menerangkannya dengan keterangan yang cukup, walhamdulillah. Tinggal bagian yang kedua, seandainya Anda berkenan untuk menjawabnya –jazakumullah khairan.

Jawab: Adapun jihad daf’i (bersifat mempertahankan diri –defensif) yang telah dibicarakan ulama dan ditetapkan oleh mereka bahwa itu hukumnya fardhu ‘ain…. Apa itu artinya? Yaitu musuh-musuh Islam menjajah salah satu negeri muslimin, maka wajib atas penduduk negeri itu bangkit membendung musuh ini dan mengusirnya dari negeri mereka. Dan hendaknya mereka terus melawan selama jumlah mereka tidak kurang dari setengah jumlah musuh yang memerangi dan menjajah. Bila jumlah mereka kurang dari jumlah ini, maka menjadi kewajiban negara tetangganya untuk ikut serta dalam jihad, dan itu menjadi fardhu ain atas mereka juga seluruh masyarakat Islam untuk bekerja sama dengan mereka semampunya. Akan tetapi mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka harus melakukan persiapan untuk mengusir musuh. Bukan seperti keadaan Palestina sekarang. Penduduk Palestina belum menggelar persiapannya. Bahkan masyarakat Arab Islam yang bertetangga dengannya juga belum melakukan persiapan untuk mengusir musuh-musuh Allah baik dari kalangan Yahudi dan yang lainnya. Yakni di saat Yahudi menjajah Palestina muncullah syiar-syiar jahiliah, nasionalisme, sosialisme, dan seterusnya, yang semestinya mereka bertaubat kepada Allah dari hal itu, dan kembali kepada-Nya agar berhak mendapatkan janji Allah berupa pertolongan- Nya atas musuh-musuh Allah. Tapi justru mereka menyambut ideologi-ideologi ini, nasionalisme, sosialisme, ba’ts dan seterusnya. Maka golongan-golongan seperti ini tidak akan mendapat kemenangan, dan jihad mereka tidak Islami. Oleh karena itu, jihad di Palestina sampai sekarang bukanlah jihad yang Islami, tetapi atas nama nasionalisme dan kebangsaan.[4 ]

Jika kaum muslimin kembali kepada jalan Allah dan bertaubat kepada-Nya lalu mereka mentarbiyah diri-diri mereka, anak-anak mereka dan pasukan mereka di atas tauhidullah yang murni serta terdidik di atas jihad demi menegakkan kalimat Allah supaya tinggi, ketika itulah insya Allah mereka dapat mengusir musuh itu.

Dan realita Palestina sekarang, (mereka) memerangi musuh yang cukup berbahaya ini, yang bersenjatakan teknologi tercanggih dan mutakhir dengan didukung negara-negara Eropa dan Amerika. Sementara Palestina tidak ada yang mendukung mereka, satu negarapun. Maka pandangan saya bahwa termasuk dari sikap terburu-buru dan tidak cerdas bila engkau perangi musuh tersebut dengan bebatuan (intifadha, ed.). Termasuk kebodohan yang ditolak Islam dan ditolak orang yang berakal (di mana) musuhmu bersenjatakan senjata yang paling ampuh dan canggih, pesawat tempur, tank, rudal, nuklir, dan seterusnya, sementara engkau tidak punya kecuali batu, dan engkau lawan dengannya.

Saya berpandangan, sekarang bila musuh menyerang rumah-rumah penduduk yang aman, serta keluarga mereka, maka wajib bagi mereka membela diri. Sampai-sampai saya ditanya oleh orang Palestina: “Bila mereka (musuh) menyerang kami, apa yang kami lakukan?” Saya jawab: “Perangi mereka jika mereka menyerangmu dan keluargamu. Lawan dengan segala yang engkau bisa, baik dengan batu atau tongkat, sampaipun dengan kuku-kuku dan gigi-gigimu.” Maka saya katakan rakyat Palestina ini, kalian jangan mencoba menyulut musuh ini sementara kalian dalam keadaan selemah-selemahnya. Dan pada derajat kelemahan terendah, janganlah kalian memanasi mereka. Mulailah dengan taklim, didiklah dengan manhaj Islam yang benar, niscaya Allah akan jadikan untuk kalian jalan keluar dan solusi. Allah berfirman:



وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا



“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” (Ath-Thalaq: 2)

Maka wajib bagi kalian untuk mengikhlaskan niat dan wajib mentarbiyah diri dan anak kalian di atas tauhidullah sehingga kalian mendapatkan hak kemenangan dari Allah. Lalu siapkan persenjataan ketika kalian angkat bendera jihad, niscaya Allah akan menolong kalian. Inilah yang mungkin aku katakan seputar jihad ini. Dan aku memohon kepada Allah tabaraka wa ta’ala agar memberikan taufiq-Nya kepada kaum muslimin untuk bertaubat kepada Allah dan kembali kepada-Nya, agar Allah angkat kehinaan ini dari mereka. Kejayaan, pertolongan dan lenyapnya kehinaan, itu semuanya tergadai dengan kembalinya mereka kepada jalan Allah secara benar, (jalan) yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Bila ini terwujud, insya Allah kaum muslimin akan diberi mahkota kemenangan pada pertempuran manapun yang mereka lakukan melawan musuh Allah:



وَلَوْ قَاتَلَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوَلَّوُا اْلأَدْبَارَ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْنَ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيْرًا. سُنَّةَ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً



“Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) menolong. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.” (Al-Fath: 22-23)

Ini adalah sunnatullah, tidak akan meleset selamanya, sunatullah al-kauniyyah (ketetapan Allah pada alam ini). Maka bila kita lakukan sunnah syar’iyyah (ketetapan Allah pada syariat-Nya) yang kita diminta melakukannya, niscaya akan datang sunnatullah al-kauniyyah yaitu janji Allah untuk menang terhadap musuh dan mendapatkan kemenangan di atas musuh.

Maka bila kalian sungguh-sungguh dalam memerangi Yahudi dan selain mereka, hendaknya memakai senjata ini, senjata aqidah. Setelah itu baru senjata fisik. Adapun sekarang, senjata iman lemah –tidak saya katakan tidak ada– lemah sekali, jauh dari tingkatan yang dimaukan. Sementara senjata fisik tidak ada. Kalau begitu, belum waktunya jihad… Adapun persatuan Arab yang berlandaskan nasionalisme Arab, kebangsaan jahiliah, (maka Nabi bersabda :) “Bukan dari golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiah (fanatik kesukuan) atau berperang karena ashabiah”, atau berperang di bawah bendera ‘immiyyah (kesesatan). Bendera ‘immiyyah yang tergabung padanya Nasrani, Yahudi bila dia punya toleransi, masuk pula padanya komunis, masuk padanya sekuler. Ini bila kita angkat bendera kearaban. Orang yang mengangkat bendera ini apakah menjadi syahid?! Sekali-kali tidak! Orang yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi itulah yang di jalan Allah. Demi Allah, Yahudi dan Nasrani benar-benar bertepuk tangan terhadap identitas kearaban karena mereka paham benar bahwa tidak akan mengalahkan mereka kecuali Islam yang Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang membawanya. Islam yang dengannya terbukalah daerah-daerah di dunia ini. Islam yang dengannya pemelukya menang di atas segala bangsa dan agama….” (Kaset Aqwal ‘Ulama Fil Jihad Al-Mu’ashir)



[1] Salah seorang anggota Jum’iyyah Ulama di Aljazair.

[2] Seorang pakar hadits sekaligus hakim di Mesir.

[3] Mantan Ketua Jurusan As-Sunnah pada Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah.

[4] Anehnya, justru pada tahun 1946 Hasan Al-Banna berceramah di hadapan tim gabungan Amerika dan Inggris dalam urusan Palestina, yang di antara isinya: “…Sisi yang akan saya bicarakan adalah sebuah titik yang sederhana dari sisi pandang agama. Karena titik ini bisa jadi tidak dipahami oleh bangsa Barat. Oleh karena itu, saya hendak menjelaskannya dengan ringkas. Saya tetapkan bahwa permusuhan kami dengan Yahudi bukan dari sisi agama, karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dan berkawan dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat kebangsaan. Juga Al-Qur`an telah memuji mereka dan menjadikan antara kita dengan mereka ikatan… Ketika kami menentang hijrah Yahudi dengan segala kekuatan kami, adalah karena hal tersebut mengandung bahaya secara politis dan merupakan hak bagi kami, Palestina menjadi negara Arab.” (Ikhwanul Muslimin Ahdatsun Shana’at Tarikh)



Ternyata ideologi ini diwarisi Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, di mana ia mengatakan: “Jihad kami melawan Yahudi bukan karena mereka Yahudi. Sebagian saudara yang menulis dalam masalah ini dan berbicara tentangnya menganggap bahwa kita memerangi Yahudi karena mereka itu Yahudi. Kami tidak memandang demikian. Sehingga kita tidak memerangi Yahudi disebabkan aqidah, namun kita memerangi mereka dikarenakan tanah. Kita tidak memerangi orang kafir karena mereka itu orang kafir, namun memerangi mereka karena mereka telah merampas tanah dan negeri kita serta mengambilnya dengan cara yang tidak benar.” (Majalah Ar-Rayah edisi 4696, 24 Sya’ban 1415 H, bertepatan 25 Januari 1995 M, dinukil dari buku Dhalalat Al-Qaradhawi hal. 8)

sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=497

[+/-] Selengkapnya...


Di antara akhlak terpuji yang diperintahkan Islam adalah memberi salam. Salam merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa antara si pemberi salam dan yang diberi salam tidak ada sengketa apa pun. Yang ada hanya perasaan cinta, persahabatan, dan persaudaraan. Ucapan salam memang kelihatannya sederhana, tapi siapa nyana di balik kesederhanaannya itu mengandung hikmah dan keutamaan yang agung. Beberapa di antara hikmah dan keutamaan salam adalah karena salam merupakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

'Rasulullah memerintahkan kami untuk melakukan tujuh perkara, yaitu menjenguk orang sakit, mengiring jenazah, mendoakan orang yang bersin yang memuji Allah, membantu orang yang lemah, menolong orang yang dizalimi, mengucapkan salam, dan memenuhi sumpah. (Muttafaq 'alaih). Salam akan menumbuhkan rasa kasih sayang. ''Kamu tidak akan masuk surga sampai kamu beriman, dan kamu tidak beriman sampai kamu saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan suatu perbuatan yang bisa membuatmu saling mencintai; yaitu sebarkanlah salam di antara sesamamu.'' (HR al-Bukhari dan Muslim).

Salam juga merupakan amalan yang terbaik dalam Islam. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, seorang laki-laki bertanya kepada Rasullah. ''Apakah amalan yang paling baik dalam Islam?'' Beliau menjawab, ''Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang telah kamu kanal dan yang belum kamu kenal.'' (HR al-Bukhari dan Muslim).

Berkah dan kebaikan dari Allah SWT akan tercurah untuk si pemberi salam. ''Maka ketika kamu masuk rumah, ucapkan salam untuk dirimu sebagai penghormatan dari Allah yang berisi berkat dan kebaikan.'' (QS An-Nur [24]: 61).

Mengucapkan salam akan menjadi amalan yang memasukkan pelakunya ke surga. ''Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan, lakukan silaturahim, dan shalatlah malam ketika orang lain teridur, maka engkau akan masuk surga dengan selamat.'' (HR at-Tirmidzi).

Salam dapat diucapkan ketika bertemu dengan seseorang, baik yang sudah dikenal maupun belum selama dia Muslim. ''Apabila kamu bertemu dengan saudaramu, maka ucapkanlah salam, jika terhalang oleh pohon, tembok atau batu, maka ucapkan salam ketika menemuinya.'' (HR Muslim).

Salam juga diucapkan ketika memasuki rumah orang lain, begitu pula rumah sendiri. ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk rumah orang lain, hingga kamu minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya.'' (QS An-Nur [24]: 21).

Ketika masuk dan keluar dari sebuah majelis. ''Apabila seorang masuk ke sebuah majelis, maka hendaknya mengucapkan salam. Dan jika dia mau pergi hendaklah mengucapkan salam, tidaklah (salam) yang pertama tadi lebih berhak (untuk diucapkan) daripada yang akhir.'' (HR Abu Daud). Apabila ada yang menitip salam, maka yang menerima mengucapkan, ''Wa'alaihissalam warahmatullahi wabarakatuh.''

[+/-] Selengkapnya...

Template by : kendhin x-template.blogspot.com